Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan suatu kewajiban. Sebab hal tersebut telah tertulis rapi melalui aturan yang mengikatnya. Yaktu Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada. Dan pasal 101 UU tersebut mengatur bahwa Pilkada 2024 akan diselenggarakan pada bulan November yang akan datang.
Bicara kekuasaan mempunyai irisan dengan Pilkada. Sebab tanpa Pilkada maka kekuasaan pun tak mungkin ada. Sebab ini aturan baku dalam negara yang menganut demokrasi ini. Pilkada sebagai alat untuk merebut kekuasaan. Semua pasti sepakat karena hal ini merupakan amanat UU.
Bicara amanat sama dengan perintah untuk melakukan atau melaksanakan tugas dengan benar. Seperti melayani rakyat demi tujuan utama yaitu kesejahteraan. Bonum commune. Namun kerapkali kekuasaan itu disalahgunakan.
Alhasil, kekuasaan pun diredefinisi sebagai wadah lahirnya keserakahan. Dan perlu disadari bahwa keserakahan itu sendiri adalah akar segala kejahatan. Hal ini dipertegas dalam pameo Latin yaitu Radix Enim Omnium Malorum Est Cupiditas (sebab akar segala kejahatan adalah keserakahan).
Entah sadar atau tidak, keserakahan merupakan hasrat untuk memiliki hal-hal material seperti harta dan nonmaterial seperti kekuasaan yang lebih. Artinya, keserakahan merupakan kekuatan umum yang merusak tatanan kehidupan bersama.
Nah, bagaimana jadinya kalau pemimpin yang gagal mempunyai hasrat untuk mengejar hasrat non material atau kekuasaan lebih? Bukankah itu sebuah keserakahan?. Pastinya semua sepakat dengan pertanyaan reflektif ini.
Dalam konteks Pilkada Manggarai Timur (Matim). Petahana kembali maju dalam Pilkada 2024. Tentu hal ini sah saja sebab masih mungkin menurut UU. Namun rekam jejak selama berkuasa menjadi pertimbangan untuk tidak patut dipilih kembali. Barometernya jelas yaitu kegagalan dalam membangun daerah.
Sebut saja tata kelola pemerintahan yang amburadul yang mengakibatkan lahirnya miskin ekstrem. Belum lagi pembangunan sumber daya manusia dan infrastruktur jalan raya yang minum kualitas dan kuantitas.
Pada titik ini bisa disimpulkan bahwa hasrat merebut kekuasaan tanpa menyadari rekam jejak adalah bentuk kerakusan. Rakus untuk berkuasa. Artinya kesejahteraan rakyat bukan hal utama dan segalanya melainkan kepentingan pribadi atau kelompok. Sebab tak ada tanggungjawab moral sosial yang lahir dari pemimpin yang rakus kekuasaan itu.
Semoga seruan moral ini bisa menjadi pertimbangan rakyat Matim sebelum bergumul dalam bilik suara pada bulan November nanti. Sebab Matim butuh perubahan. Dan mengharumkan nama daerah cukup dengan perubahan pada aspek dasar yang menyentuh langsung dengan kebutuhan masyarakat.
Seruput Energen
Robertus Marson