JAKARTA – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengusulkan kedudukan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kembali dibawah Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Isu tersebut bergulir pasca Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto menuding aparat kepolisian telah menggunakan penyalahgunaan kekuasaan dalam Pilkada Serentak 2024.
Isu tersebut membuat fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI geram. Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PAN, Nazarudin Dek Gam menilai usulan PDIP tersebut bentuk pengkhianatan terhadap reformasi.
“Semangat reformasi salah satunya menjadikan Polri sebagai murni alat penegak hukum yang berdiri sendiri,” Kata Nazarudin.
Lanjut Nazarudin, sejak berdiri sendiri dan bertanggung-jawab langsung kepada Presiden, Polri terus menunjukkan kinerja terbaiknya. Hampir di setiap survei soal pelayanan publik, Polri Selalu masuk dalam jajaran 3 lembaga yang paling dipercaya.
“Kalau merasa ada bukti bahwa Polri terlibat cawe-cakwe politik, seharusnya disampaikan saja kepada Bawaslu. Tapi kalau tidak ada bukti janganlah bikin berita bohong yang mencederai demokrasi,” tegasnya.
Lanjut Nazarudin, Polri justru sudah bekerja amat baik terkait pengamanan Pilkada serentak. Jajaran Polri dari level tertinggi di Mabes hingga level paling bawah di Polsek semua all out memastikan Pilkada berlangsung akan dan nyaman.
“Alhasil Pilkada kali ini sangat minim terjadi benturan. Kalau toh ada sedikit konflik, hanya terjadi daerah-daerah yang memang sudah rawan konflik seperti di Papua. Yang penting Polri bisa merespons dengan baik dan menghentikan konflik-konflik yang sempat muncul tersebut,” tukasnya.
Sementara Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi menegaskan, kritik PDI Perjuangan harus dimaknai sebagai alarm keras bagi kualitas demokrasi dan integritas Pilkada serentak 2024.
“Sekaligus juga menjadi dasar akselerasi reformasi dan transformasi Polri pada beberapa peran yang dianggap memperburuk kualitas demokrasi,” kata Hendardi.
Secara faktual kata Hendardi, baik langsung maupun tidak langsung, publik menangkap pesan bahwa terdapat pihak-pihak yang diuntungkan oleh peran-peran Polri, selain peran normatif melakukan pengamanan dan sebagai bagian dari Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Pilkada.
Akan tetapi kata Hendardi, munculnya aspirasi mengubah posisi kelembagaan Polri di bawah TNI sebagaimana di masa Orde Baru adalah gagasan keliru dan bertentangan Konstitusi RI. Usulan agar Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri juga bertentangan dengan semangat Pasal 30 ayat (2) dan (4) UUD Negara RI 1945.
“Ketentuan ini mengatur bahwa usaha keamanan rakyat dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama, sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat,” jelasnya.
Hendardi menegaskan, hakikat Polri sebagai alat negara kemudian ditafsirkan dalam UU Polri yakni menjadi berkedudukan di bawah Presiden, sehingga tanggung jawab pelaksanaan keamanan dan ketertiban nasional dilakukan kepada Presiden.
Lanjut Hendardi, pemisahan TNI dan Polri sebagaimana TAP MPR No. VI/MPR/2000 adalah amanat reformasi yang harus dijaga. Gagasan pengembalian posisi Polri sebagaimana di masa lalu dapat mengundang banyak penumpang gelap yang berpotensi merusak tata kelembagaan negara di bidang keamanan, ketertiban dan penegakan hukum.
Untuk itu Hendardi mendorong transformasi Polri dengan salah satunya memperkuat tugas dan peran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagai instrumen pengawasan permanen atas tugas-tugas Polri dalam menjalankan fungsi perlindungan dan pengayoman, menjaga keamanan dan ketertiban dan menjalankan fungsi penegakan hukum.
“Secara paralel, perbaikan hukum Pemilu dan Pilkada harus terus menerus dilakukan, baik dilakukan oleh otoritas legislasi maupun melalui Mahkamah Konstitusi yang menetapkan ketidaknetralan ASN dan TNI/Polri sebagai tindak pidana, sehingga kualitas demokrasi terus meningkat,” tukasnya.