JAKARTA – RUU Masyarakat Adat kembali masuk ke Prolegnas untuk tahun 2025. Salah satu pengusul, Anggota DPR Martin Manurung, menyatakan optimis bisa disahkan di tahun 2025 dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil.
Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Christina Clarissa Intania meminta DPR RI tak hanya berjanji, melainkan perlu diwujudkan dengan aksi nyata untuk segera melakukan pembahasan RUU Masyarakat Adat itu.
”Pengusul sudah percaya diri bahwa RUU Masyarakat Adat bisa diselesaikan di tahun 2025, yang mana harapannya diartikan sebagai disahkan. Bukan hanya selesai rancangannya saja dan kembali tidak ditindaklanjuti,” tegas Christina dalam pernyataan tertulisnya kepada wartaaan, Rabu (4/12/2024).
Masyarakat adat berhasil mendapat momentum besar saat disetujuinya Subsidiary Body on Article 8J pada saat Konferensi Keanekaragaman Hayati 16 (COP 16) di Kolombia pada bulan November lalu.
”Keputusan ini memberikan momentum di tingkat global yang menegaskan pentingnya apresiasi negara atas kontribusi besar masyarakat adat dalam kegiatan konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan atas pengetahuan tradisional,” tegasnya.
Untuk melanjutkan semangat ini kata dia, RUU Masyarakat Adat menjadi instrumen yang esensial untuk bisa mewujudkan konservasi keanekaragaman hayati yang selaras dengan kehidupan masyarakat adat sebagai salah satu aktor penting penjaga lingkungan hidup.
“Penghargaan masyarakat adat dalam konservasi akan meningkatkan pencapaian Indonesia sebagai negara anggota Konvensi Keanekaragaman Hayati dalam target konservasi,” bebernya.
Di samping COP 16 kata Christina, banyak alasan mengapa RUU Masyarakat Adat sudah menjadi darurat untuk segera disahkan.
”Saat ini, masyarakat adat perlu perlindungan dan kepastian hukum untuk hak dan keberlanjutannya. Salah satunya karena maraknya konflik agraria dan proyek-proyek infrastruktur negara maupun swasta yang bergesekan dengan tanah adat,” bebernya.
“Belum lagi kekerasan yang terjadi dengan aparat keamanan dałam konflik terkait. Mekanisme pengakuan tanah adat saat ini tidak terintegrasi dan tersebar di berbagai macam lembaga pemerintahan,” tambahnya.
Pada akhirnya kata Christina, hal ini mempersulit masyarakat adat untuk mendapat pengakuan tanah adat yang menjadikan posisi tawarnya sangat rendah karena tidak memiliki pengakuan tertulis.
Ditegaskan Christina, UU Masyarakat Adat sudah melalui proses yang terlalu lama di saat masyarakat adat terus menerus membutuhkan kehadiran dan komitmen, serta integritas negara, termasuk dalam melindungi hak kepemilikan masyarakat adat.
“Momentum-momentum yang ada perlu dimanfaatkan sebaik mungkin untuk segera mengesahkan RUU ini. Jangan sampai harus ada tragedi, konflik, dan kasus kriminalisasi lagi untuk bisa menyadarkan DPR dan Pemerintah akan pentingnya keberadaan UU Masyarakat Adat,” tukasnya.