JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kini membuat gebrakan baru. Salah satunya merevisi peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR.
Revisi berupa tambahan pasal 228A terkait kewenangan DPR RI untuk mengevaluasi calon di lembaga atau institusi yang telah ditetapkan DPR RI melalui rapat paripurna.
Revisi tersebut telah disepakati dalam rapat tingkat dua. Dalam hal ini, rapat paripurna yang diselenggarakan dalam paripurna ke-12 masa persidangan II tahun sidang 2024-2025 di ruang paripurna, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (4/2/2025). Kala itu, rapat tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir.
Namun sebelum dibawa ke tingkat II, Badan Legislatif telah membahas hal tersebut pada tingkat I. Semua fraksi DPR RI setuju untuk merevisi peraturan tersebut yang disepakati pada Senin, 3 Februari 2025. Hal tersebut diutarakan Wakil Ketua Baleg, Sturman Panjaitan dalam paripurna.
Kata Sturman, ada penambahan substansi di antara Pasal 228 dan 229, yakni Pasal 228A terkait kewenangan DPR RI. Pasal yang dimaksud adalah Pasal 228A.
Dalam Ayat (1) berbunyi “dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 227 Ayat (2) DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR”.
“Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku,” demikian bunyi Ayat (2) pasal tersebut.
Sementara Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan aturan tersebut memperkuat fungsi pengawasan DPR dalam melakukan evaluasi terhadap calon yang telah di-fit and proper test yang ditetapkan di DPR.
“Kita tegaskan lagi bahwa dalam keadaan tertentu, hasil fit and proper yang sudah dilakukan oleh DPR bisa kemudian dilakukan evaluasi secara berkala untuk kepentingan umum, justru begitu,” kata Dasco di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (4/2).
Dasco kemudian mencontohkan, pihaknya bisa mengevaluasi petinggi lembaga yang merupakan hasil fit and proper test DPR jika kondisinya sudah tidak prima. DPR, kata dia, perlu menggelar fit and proper test kembali untuk memilih calon pengganti orang tersebut.
“Yang kita lihat misalnya ada satu lembaga, yang pensiun, misalnya umurnya sampai 70 tahun, dan dia di situ sudah menjabat selama 25 tahun, dan sekarang kondisinya misalnya sakit-sakitan. Nah, ini kan kemudian kita harus lakukan fit and proper, apakah yang bersangkutan itu masih dapat menjalankan tugasnya dengan baik,” tegasnya.
Cara Kendalikan Pejabat
Sedangkan Peneliti Senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menuturkan, revisi tersebut dilakukan untuk mengikat para pejabat agar tunduk pada keinginan DPR. “Evaluasi ini nampaknya akan menjadi semacam pengadilan bagi para pejabat yang diajukan DPR,” kata Lucius, Rabu (5/2/2025).
Lucius mencontohkan saat beberapa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang nampak tak disambut dengan antusias oleh DPR. MK mencaplok kuasa DPR untuk melakukan rekayasa Pemilu seperti presidential treshold.
“MK bebas memvonis rekayasa yang dibuat DPR sebagai inkonstitusional. Itu semua nampaknya menyakitkan DPR. Dan kuasa besar MK ini adalah ancaman serius bagi upaya DPR dalam membentuk peraturan yang sesuai dengan kepentingan mereka,” katanya.
Selain itu, pakar hukum tata negara Feri Amsari melihat adanya kejanggalan atas revisi yang pembahasannya tuntas kurang dari 3 jam dengan hasil kesepakatan seluruh fraksi itu.
“Bagi saya ini sangat janggal. Motifnya mungkin dalam menekankan lembaga-lembaga tertentu, terutama Mahkamah Konstitusi. Dan itu cara permainan politik paling tidak sehat yang pernah dilakukan oleh DPR saat ini,” kata Feri.
Feri menjelaskan, langkah revisi ini menunjukkan ihwal DPR yang tidak mengerti soal peraturan perundang-undangan. Pasalnya, mengoreksi lembaga negara lain terutama memberhentikan pejabatnya bukan tugas dan wewenang DPR.
Feri juga menekan, tata tertib DPR, harusnya hanya berpengaruh terkait urusan internal. “DPR kok tidak paham perundang-undangan? peraturan tata tertib kok bisa mengubah undang-undang dasar dan bunyi undang-undang. Jadi aneh sekali, terjadi pelanggaran, sehingga itu tidak sah sebenarnya,” tukasnya.
Diketahui, rekomendasi penunjukan pejabat selama ini diatur dalam Pasal 226 ayat 2 Tatib DPR. Sejumlah instansi atau lembaga yang penunjukan pejabatnya melalui mekanisme di DPR itu seperti hakim MK, MA, Komisioner KPK, Kapolri, hingga Panglima TNI.