JAKARTA – Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengangkat Mayor Jenderal TNI Novi Helmy Prasetya menjadi Direktur Utama Perum Bulog. Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri BUMN Nomor: SK-30/MBU/02/2025 tanggal 7 Februari 2025, yang mengakhiri pengabdian Wahyu Suparyono sebagai Direktur Utama dan Iryanto Hutagaol sebagai Direktur Keuangan Perum Bulog.
Namun Novi masih berstatus TNI aktif. Hal tersebut dibenarkan Novi sendiri kepada wartawan saat ditemui di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Minggu (9/2/2025). “Ya masih aktivitas, iya (Prajurit aktif),” katanya.
Terkait hal ini, Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan menegaskan, penempatan prajurit TNI sebagai Direktur Bulog menambah daftar pengingkaran dan/atau pelanggaran atas ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI).
“Kukuhnya pemerintah dalam menempatkan militer pada jabatan sipil meskipun melanggar ketentuan UU TNI,” Hasan kepada wartawan yang dikutip Journalpost.id, Selasa (11/2/2024).
Hal tersebut kata Hasan semakin memperlihatkan ketiadaan visi reformasi TNI di awal pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Terutama dalam aspek memastikan TNI fokus sebagai alat negara di bidang pertahanan, sebagaimana amanat Konstitusi dan UU TNI.
Lanjut Hasan, penempatan TNI sebagai Direktur Bulog ini juga memperlihatkan pemerintah tidak melakukan evaluasi atas berbagai kritikan publik dalam penempatan prajurit TNI sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab) yang memiliki problematika serupa.
“Bahkan persoalan ini merupakan bentuk keberulangan dan/atau keberlanjutan dari era kepemimpinan sebelumnya. Artinya, harapan bahwa pemimpin baru dapat memperbaiki kondisi regresi reformasi militer dalam 5-10 tahun era Presiden sebelumnya, sejauh ini masih sebatas imajinasi,” tegasnya.
Hasan kembali menyinggung kasus penempatan prajurit TNI sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab). Namun setelah banyak sorotan dan kritikan publik, ketimbang melakukan evaluasi dengan mengacu kepada UU TNI, pemerintah justru melakukan akrobatik hukum dengan melakukan perubahan regulasi terkait struktur Seskab.
Sebelumnya kata Hasan dalam Perpres No. 55 Tahun 2020 tentang Sekretariat Kabinet, Pasal 1 ayat (1) mengatur bahwa Sekretariat Kabinet berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
“Struktur ini kemudian diubah melalui Pepres No. 148 Tahun 2024 tentang Kementerian Sekretariat Negara. Sebab dalam Pasal 48 ayat (1) Perpres a quo, Sekretaris Kabinet disebutkan menjadi bagian dari Sekretariat Militer Presiden,” katanya.
Kata Hasan, pengintegrasian dan/atau menempatkan Seskab sebagai bagian dari Sekretaris Militer Presiden (Sesmilpres) berimplikasi terhadap legitimasi penempatan prajurit TNI pada jabatan Seskab ”tertular” dari legitimasi penempatan pada jabatan Sesmilpres, mengingat Sesmilpres termasuk ke dalam ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU TNI.
“Perubahan regulasi ini tentu tidak serta merta mengubah analisis bahwa jabatan Seskab relevan untuk di duduki oleh prajurit TNI. Artinya, mudah menganalisisnya bahwa perubahan ketentuan tersebut tidak dilakukan berdasarkan relevansi dan urgensinya,” jelasnya.
Di awal pemerintahan ini kata Hasan, militer telah dilibatkan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG), penertiban kawasan hutan, hingga wacana pembentukan 100 batalion teritorial pembangunan. Kebijakan ini bertentangan dengan ”kodrat” militer sebagai alat negara di bidang pertahanan. Pemaksaan paradigma pertahanan dalam isu-isu demikian hanya memperlihatkan gejala militerisme pada kerja-kerja di ruang sipil.
Hasan menegaskan, penguatan militerisme pada ruang-ruang sipil di awal pemerintahan Prabowo memperlihatkan watak dan substansi dwifungsi militer yang masih kental. Sebab pemerintahan menempatkan militer sebagai solusi atas semua problematika pembangunan, sehingga pelibatan militer dianggap menjadi manifestasi akselerasi pembangunan.
“Paradigma ini memperlihatkan pejabat pemerintahan masih menempatkan kondisi Orde Baru sebagai patokan dalam pembangunan melalui dwifungsi ABRI ketika itu. Padahal berbagai perkembangan konsep pemerintahan, seperti good governance hingga collaborative governance dapat menjadi konsep menuju pembangunan yang demokratis,” jelasnya.
Dia menambahkan, semakin maraknya pelibatan militer pada ranah sipil justru menimbulkan kontradiksi antara harapan putra-putri bangsa yang ingin mengabdikan dirinya untuk pertahanan negara melalui militer, justru dihadapkan pada peran-peran yang semestinya menjadi domain otoritas sipil.
“Ketika militer semakin jauh dilibatkan pada bidang-bidang di luar pertahanan, justru berpotensi dapat memicu turunnya profesionalitas prajurit, terutama kemampuan dan skill tempurnya,” tukasnya.