JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah menerima surat presiden (surpres) penunjukan wakil pemerintah terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Supres tersebut dibacakan Ketua DPR RI Puan Maharani saat sidang paripurna penutupan masa persidangan II tahun sidang 2024-2025 pada Selasa (25/3/2025).
“Perlu kami beritahukan bahwa pimpinan dewan telah menerima surat dari Presiden RI yaitu nomor R19/Pres/03/2025 hal penunjukan wakil pemerintah untuk membahas RUU tentang KUHAP,” kata Puan.
Puan mengatakan RUU KUHAP merupakan tupoksi dari Komisi III. Puan menyampaikan pembahasan RUU KUHAP akan dilakukan pada pembukaan masa sidang berikutnya.
“Surat tersebut akan ditindaklanjuti sesuai peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang tatib dan mekanisme yang berlaku ini merupakan domain atau tupoksi Komisi III, namun baru kami putuskan nanti sesudah pembukaan sidang yang akan datang,” jelasnya.
Berikut poin-poin penting draf RUU KUHAP berdasarkan rangkuman Journapost.id:
Pertama. Penghinaan presiden bisa diselesaikan lewat restorative justice
Komisi III DPR RI telah menghapus sejumah ketentuan dalam draf RUU KUHAP yang sebelumnya sempat mengatur tindak pidana penghinaan presiden tak bisa diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif.
Ketentuan yang sebelumnya tercantum dalam Pasal 77 Bab IV Mekanisme Keadilan Restoratif itu adalah kekeliruan. Kini, terdapat dua tindak pidana dalam pasal 77 yang dihapus sehingga kini bisa diselesaikan dengan pendekatan restorative justice.
Kedua hal yang dihapus yakni; tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus, dan tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Kedua. Live sidang tanpa izin bisa dipidana
Draf KUHAP yang turut mengatur tata tertib persidangan melalui Pasal 253 ayat (3) mengatur setiap orang yang berada dalam persidangan dilarang menyiarkan sidang secara langsung tanpa izin pengadilan.
“Setiap orang yang berada di sidang pengadilan dilarang mempublikasikan proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan,” bunyi pasal tersebut.
Ayat (4) pasal yang sama mengatur lebih tegas apabila siaran langsung tetap dilakukan tanpa izin pengadilan, pelaku bisa diproses hukum pidana.
“Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan tindak pidana yang ditentukan dalam suatu undang-undang, yang bersangkutan dapat dituntut berdasarkan undang-undang tersebut,” bunyi pasal tersebut.
Ketiga. Pemeriksaan tersangka tak wajib direkam CCTV
Tata cara aparat penegak hukum melakukan penyidikan turut diatur dalam draf RUU KUHAP. Dalam pasal 31 ayat (2) mengatur penggunaan kamera pengawas ketika penyidik melakukan pemeriksaan terhadap tersangka.
Akan tetapi, dalam pasal tersebut tidak ada klausul atau ketentuan yang mewajibkan penggunaan kamera pengawas ketika penyidik melakukan pemeriksaan.
“Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat direkam dengan menggunakan kamera pengawas selama pemeriksaan berlangsung,” bunyi pasal tersebut.
Keempat. Advokat tak bisa dituntut pidana saat membela klien
Pasal 140 draf RUU KUHAP ayat (2) mengatur advokat tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata ketika mereka menjalankan tugas membela klien mereka.
Ketentuan tersebut merupakan hasil persetujuan Komisi III atas usulan yang diajukan Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia-Suara Advokat Indonesia (PERADI-SAI) Juniver Girsang dalam RDPU.
“Advokat tidak bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien baik di dalam maupun di luar pengadilan,” bunyi pasal tersebut.