JAKARTA – Sejumlah tokoh bangsa akan mendapat gelar pahlawan nasional. Hal tersebut berdasarkan usulan masyarakat. Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menyampaikan pihaknya mengusulkan Presiden ke-2 RI, Soeharto. Gelar tersebut berpeluang diberikan tahun ini.
“Tahun ini ada beberapa nama yang berpeluang di antaranya Presiden kedua Soeharto,” kata Gus Ipul dalam keterangan tertulis, Rabu (23/4/2025).
Gus Ipul menjelaskan Kementerian Sosial saat ini telah menerima usulan beberapa nama calon pahlawan nasional dari daerah. Jika ada yang pro dan kontra, Gus Ipul menilai hal tersebut merupakan persoalan biasa. Sebab, calon pahlawan nasional juga manusia yang mesti tidak akan sempurna.
“Semua pahlawan yang diusulkan manusia. Siapapun pahlawan itu yang diusulkan itu manusia. Manusia itu tempatnya kesalahan. Jadi nggak ada yang sempurna,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Gus Ipul menjelaskan pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto bentuk mengingat jasa-jasa baiknya. “Kita mempertahankan nilai-nilai yang baik sambil kita juga mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih baik. Jadi yang baik, yang lama kita mempertahankannya. Yang jelek ya nggak usah diteruskan,” kata dia.
Gus Ipul menambahkan Soeharto berpeluang besar untuk mendapatkan gelar pahlawan tahun ini usai namanya dicabut dari TAP MPR 11/1998 soal korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Dia menegaskan pemberian gelar pahlawan berawal dari usulan masyarakat. Kemudian usulan tersebut ditampung di kabupaten/kota, lalu diusulkan oleh bupati/wali kota tempat tokoh itu lahir.
Adapun nama yang diusulkan akan dikaji oleh sebuah tim bernama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD), lalu diusulkan oleh bupati/wali kota ke gubernur. Dari gubernur, lanjut Gus Ipul, nama-nama itu akan diusulkan ke Kementerian Sosial.
Selanjutnya, Kementerian Sosial akan membentuk Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) lalu mengusulkan nama-nama ke Dewan Gelar. Kemudian, nama pahlawan baru akan diputuskan oleh presiden. Nantinya, ada sekitar 20 nama yang tahun ini diusulkan.
Putri Soeharto, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto, menyambut baik rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Titiek mengatakan ada atau tidaknya gelar tersebut, Soeharto tetap menjadi pahlawan bagi keluarganya.
“Iya, alhamdulillah. Alhamdulillah kalau pemerintah mau berkenan untuk menganugerahkan gelar pahlawan untuk Presiden Soeharto, karena mengingat jasanya begitu besar kepada bangsa negara,” kata Titiek.
“Akan tetapi, buat kami, keluarga, diberi gelar atau tidak diberi gelar, Pak Harto adalah pahlawan buat kami. Dan saya yakin pahlawan buat berjuta-juta rakyat Indonesia yang mencintai dia,” sambungnya.
Pengkajian
Sementara politisi PDI Perjuangan (PDIP), TB Hasanuddin menegaskan bahwa pemberian tanda jasa atau gelar pahlawan haruslah melalui pengkajian dewan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan yang juga mewakili dari berbagai sektor seperti akademisi, militer, hingga tokoh masyarakat.
“Saya pribadi serahkan ke dewan yang mengkaji, dewan tanda jasa kehormatan. Biar mereka yang bekerja sama dengan Kemensos, di Kemensos juga ada tim untuk hal itu,” bebernya.
Sedangkan Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi menegaskan bahwa gelar pahlawan nasional untuk Soeharto tidak relevan dan problematik. Secara yuridis, berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan, ada syarat umum dan syarat khusus untuk mendapatkan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan.
Syarat umum yang diatur Pasal 24 UU adalah (1). WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI, (2) memiliki integritas moral dan keteladanan, (3) berjasa terhadap bangsa dan negara,(4) berkelakuan baik, (5) setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara dan (6) tidak pernah dipidana, minimal 5 (lima) tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Mengacu pada syarat umum poin 4 kata Hendardi, Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional karena berbagai pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi pada masa pemerintahannya yang otoriter dan militeristik, belum pernah diuji melalui proses peradilan.
“Belum lagi soal Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh keluarga dan elite inti di sekitarnya. Akumulasi persoalan itu yang secara objektif menjadi penyebab utama Soeharto dilengserkan oleh Gerakan Reformasi 1998. Pendek kata, Soeharto tidak memenuhi syarat umum berkelakuan baik,” tegasnya.
Dikatakan Hendardi, tidak adanya klarifikasi politik yang memadai dan ketidakmungkinan putusan pengadilan mengenai kejahatan yang dilakukan oleh dan terjadi pada pemerintahan Soeharto menjadi penegas bahwa pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto menjadi tidak relevan.
Selain itu kata Hendardi, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bermasalah secara sosial-politis. Dari sisi politis, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto akan menjadi simbol dan penegas bagi kebangkitan Orde Baru atau Kebangkitan Cendana.
“Glorifikasi Soeharto dengan memberinya gelar pahlawan nasional akan mendeligitimasi reformasi sebagai gerakan politik untuk melawan otoritaritarianisme dan menegakkan supremasi sipil pada 1998,” bebernya.
Secara sosial kata Hendardi, gelar pahlawan nasional bagi Soeharto hanya akan menciptakan kontradiksi dan kebingungan pada generasi muda dan generasi masa depan yang tidak secara langsung bersentuhan dan memiliki pengalaman hidup pada Pemerintahan Orde Baru.
“Gelar pahlawan nasional bagi Soeharto seperti “menghapus” sejarah kejahatan rezim di masa lalu dan menciptakan kontradiksi serta kebingunan kolektif tentang seorang pemimpin politik yang dilengserkan karena akumulasi kejahatan yang terjadi, namun pada saat yang sama sosok itu bergelar pahlawan nasional,” tukasnya.